Filosofi Merajut

Sekitar dua minggu ini saya belajar merajut (otodidak lihat YouTube). Dulu sekali pernah diajari membuat rantai dan tusuk batang oleh nenek. Tapi sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Kini kecanggihan teknlogi membuat kita mudah mencari informasi. Salah satunya teknik merajut. Ternyata setelah kurenungkan, aktivitas ini memiliki makna mendalam.

Awal belajar memegang haken (jarum rajut) dan menempatkan benang pada jari, sama seperti bayi yang baru belajar memegang sendok untuk makan, tangan ini begitu kaku. Saya seperti anak yang baru belajar memegang pinsil untuk menulis. Kerja keras dan keinginan untuk berhasil (apalagi ketika melihat karya orang lain yang bagus) membuat saya tidak menyerah untuk melanjutkan. Pengalaman ini mengingatkan saya pada perjuangan seorang pembelajar. Sekecil apapun prosesnya, umurnya, dampaknya, belajar itu sebuah proses yang tidak mudah. Kewajiban saya adalah menghargai sang pembelajar karena pembelajar telah berhasil menyingkirkan hambatan yang ada pada dirinya untuk bisa menguasai satu pengetahuan. Kemudian kulihat anak-anakku yang sedang belajar memegang sendok dan lainnya belajar menulis, pembelajar cilik yang menularkan sikap “pantang menyerah”-nya pada saya.

Merajut tidak hanya soal teknik, merajut itu kesabaran dan ketekunan. Itulah yang paling berat (bagi saya). Konsistensi. Apa jadinya ketika emosi tetap merajut? Hitungan rajutan salah, bentuk rajutan tidak konsisten.

Merajut ini kehati-hatian. Sangat mungkin ketika sudah merajut begitu jauh, baru kita sadari hitungan kita salah. Kadang bisa diakali, tapi umumnya kita harus mengulang lagi dari tempat yang salah itu, artinya lepas rajutan. Usaha yang begitu besarnya sirna akibat kesalahan kecil karena kurang hati-hati. Dengan merajut kita menghargai hal kecil.

Sebuah proyek rajutan bisa jadi terlihat tidak berarti di awal, dan baru kita pahami tujuannya di akhir. Bahkan rajutan yang sederhana ketika digabungkan bisa menjadi sebuah maha karya. Jadi jangan mudah menghakimi. Itu yang kupelajari.